Kisah Penyandang Tuna Daksa Jemput Asa Jadi Abdi Negara

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik.


 Ini adalah kisah saya menjemput asa untuk menjadi seorang abdi negara Kisah Penyandang Tuna Daksa Jemput Asa Jadi Abdi Negara
Perkenalkan nama saya Elsa Susila. Lahir di Langkat, Sumatera Utara, 33 tahun yang lalu. Saya, seorang penyandang tuna daksa. Ini adalah kisah saya menjemput asa untuk menjadi seorang abdi negara. 
Saya lahir dengan keterbatasan memiliki tangan kanan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran normal. Saya merupakan salah satu penyandang disabilitas tuna daksa. Hal ini semua membuat saya ragu saat ingin mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2018 yang dibuka secara serentak dan besar-besaran. 
Tapi kemudian, saya melihat formasi yang tersedia. Ternyata, di Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh membuka 1.250 formasi CPNS. Dari jumlah tersebut, ada kuota yang diperuntukkan bagi mereka dengan kriteria khusus. 37 formasi diantaranya diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Sementara, 17 formasi juga dibuka untuk putra/putri Papua Barat dan 10 formasi untuk olahragawan.
"Mungkin di sini ada jalan bagiku," batin saya saat itu.
Saya yang merupakan lulusan STAI Raudhatul Akmal  dengan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pun memutuskan untuk mengikuti seleksi CPNS. Suami saya yang bekerja sebagai buruh bangunan pun merestui. 
Sebelumnya, saya berprofesi sebagai ibu rumahtangga. Mengasuh dua orang anak kami, adalah kegiatan saya sehari-hari. Namun, di sela-sela mengasuh, saya juga mengelola dan mengajar PAUD dan TPQ. 
Dia lembaga itu saya dirikan bersama suami. Tujuannya, memberikan kesempatan masyarakat kurang mampu yang tinggal di sekitar kami untuk memperoleh pendidikan agama. 
Pengalaman tersebut pun makin menguatkan saya untuk mendaftarkan diri sebagai guru di Kanwil Kemenag Provinsi Aceh. Perjuangan saya pun dimulai. Kendala demi kendala harus saya lalui. 
Kendala pertama saya alami ketika diminta melengkapi berkas surat penyandang disabilitas dari puskesmas/rumah sakit.  Saya harus berkeliling ke beberapa tempat. Dua rumah sakit dan satu puskesmas yang saya datangi  menolak saya. Mereka tidak berani mengeluarkan surat penyandang disabilitas. 
Akhirnya ada seorang bidan yang menyarankan saya untuk datang ke Rumah Sakit Julham, di Binjai. Sebagai ikhtiar, saya pun berangkat menggunakan angkot ke RS Julham Binjai.
Setibanya di sana, ternyata saya tidak dapat langsung dilayani untuk mendapatkan surat keterangan. Karena saat itu hari Sabtu, dokternya tidak praktek. Alhasil, saya diminta datang kembali pada hari Senin. 
Di hari Senin, setelah menunggu kurang lebih enam jam saya baru bisa mendapatkan surat keterangan disabilitas. Ya, saya tiba di RS yang berjarak 40km dari rumah saya ini, pukul 08.00 WIB. Dan baru terlayani pada pukul  14.00 WIB. 
Perjuangan saya pun berlanjut. Berkas saya kirim, hingga tiba saat pengumuman lulus berkas. Ternyata ada nama saya di sana. 
"Tapi bagaimana ini. Tes SKD dilakukan di Banda Aceh. Saya belum pernah pergi ke Banda Aceh dari Stabat, Langkat ini," batin saya. 
Kebingungan saya makin bertambah, karena suami saat itu sedang merantau jauh ke Pekanbaru. Akhirnya saya meminta orang tua saya untuk menemani perjalanan Stabat - Banda Aceh yang memakan waktu kurang lebih 13 jam. 
Keteguhan niat tak lepas dari ujian. Cibiran pun saya peroleh. Banyak orang yang mengatakan bahwa kalau mau jadi PNS harus pakai uang dan orang dalam. Saya yang berasal dari keluarga petani, mana lah bisa lulus. 
Tapi hal tersebut tak mematahkan semangat saya. Saya lebih giat dan bersemangat untuk membuktikan bahwa saya bisa melalui tiap kendala tersebut. 
Setibanya saya di Banda Aceh, saya sadar bahwa saya tak sendiri. Ada 16 orang dengan disabilitas yang mendaftar CPNS di Kanwil Kemenag Aceh. Termasuk saya, yang mendaftar sebagai guru akidah akhlak. 
Dari ke enam belas orang ada dengan kekurangan penglihatan, ada yang tidak memiliki jari tangan, ada yang berjalan dengan tertatih-tatih, ada yang sulit bergerak, dan sebagainya. 
Selama mengikuti tes, kami mendapatkan pelayanan yang memadai dari panitia seleksi. Bahkan kami didahulukan khusus penyandang disabilitas dari para pendaftaran jalur lainnya. Dengan kenyataan itu saya percaya bahwa pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat yang kurang beruntung dengan kekurangannya.
SKD kini menggunakan sistem computer Assisted Test (CAT), yang memungkinkan peserta bisa langsung mengetahui nilai. Saya buktikan sendiri, kita bersaing secara terbuka dan jujur.
Padahal, saat mendaftar saya masih dihinggapi perasaan ragu, apa bisa menjadi PNS. Meski sudah banyak informasi bahwa seleksi CPNS sekarang sudah obyektif dan transparan, tapi stigma “titipan” dalam rekrutmen calon abdi negara ini, pun terlintas dibenak dan pikiran.
Tapi keraguan itu sirna. Setelah mengikuti serangkai tes, mulai dari seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar (SKD), seleksi kompetensi bidang (SKB), termasuk wawancara. Dan saya berhasil melampui dengan segala keterbatasan. Saya merasa bahwa seleksi calon abdi negara saat ini bersih, dan transparan.

Sumber https://www.hanapibani.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Penyandang Tuna Daksa Jemput Asa Jadi Abdi Negara"

Posting Komentar